A
Dirty Realism
- Judul : Wajah Terakhir
- Kota dan nama penerbit : Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama
- Tahun atau edisi penerbitan : 2011 Cetakan pertama
- Tebal : 143 + xii hlm; 20 cm x 13,5 cm
- ISBN : 978-979-22-7443-1
- Harga : Rp. 35.000,00
Dalam
cerpen karya Mona ini mengangkat tema dari kehidupan sehari-hari dan
dari latar belakang yang berbeda-beda. Selain itu ia lebih
menonjolkan pada makna kehidupan manusia,
hal ini merupakan ciri khas Mona. Dalam cerita Mata
Marza, cerpen
paling baik dalam koleksi ini Mona berusaha mengajak pembaca untuk
memandang tokoh pelacur bukan saja sebagai perempuan malang biasa,
tetapi sebagai lambang perempuan yang menderita. Tambah pula sebagai
penderita yang akhirnya menghadapi kesengsaraan tidak luput dari
perhatian dan kasihan Yang Maha Kuasa. Selain itu memberi kejutan
pada akhir cerita juga merupakan ciri khas Mona. Gejala ini terdapat
pada cerita Ba(o)rok
dan Takada
Bulan Bob Pun
Jadi. Pada awalnya pembaca diajak untuk mengikuti perjalanan
pengemudi mobil menelusuri jalan, pulang malam hari. Namun pada akhir
cerita kita tiba-tiba dihadapkan dengan peristiwa pembunuhan kucing
oleh anak di rumah. Hal ini membuat pembaca terkicuh dengan akhir
cerita yang tidak bisa ditebak.
Akan tetapi ada juga
cerita di mana akhiran cerita memberi kepuasan. Misalnya, cerita Mata
Andin. Di
sini pembaca sepanjang mengikuti kesusahan ekonomi tokoh utama, si
ibu, terus bertanya pada diri sendiri bagaimana ia mengatasi
masalahnya. Akhirnya, pertanyaan itu terjawab dengan cara yang di
luar dugaan.
Ada juga satu dua
cerita yang menciptakan suasana yang sedih/lucu. Cerita Suara
Tua
misalnya, yang menggambarkan perasaan dan pikiran seorang perempuan
tengah baya yang menaruh harapan bahwa lelaki muda mau memandang dia
dengan romantis.
Mona Sylviana lahir
di Bandung, 16 Mei 1972. Ia menamatkan kuliah di Fikom Unpad tetapi
lebih banyak menghabiskan waktu di Gelanggang Seni, Sastra, Teater
dan Film (GSSTF) Unpad. Itu yang membuatnya sulit berpisah dengan
teater dan sastra. Setelah sempat bergabung dengan Studiklub Teater
Bandung (STB), sekarang aktif di Teater Nalar. Sejak tahun 2000
terlibat dalam kelahiran dan aktivitas Institut Nalar Jatinangor.
Cerita-cerita pendek
Mona, selain di koran dan majalah, juga terkumpul di Improvisasi
X
( bersama Hikmat Gumelar dan M. Syafari Firdaus, 1995), Sastra
Indonesia Angkatan
2000 (2000), Dunia
Perempuan
(2002), dan Living
Together (
Biennale Sastra Internasional, 2005). Pada tahun 2009 ia diundang
dalam kegiatan residensi “Ubud Writers dan Readers Festival”.
Dalam antologi
Cerpen Wajah Terakhir kita dihadapkan dengan dunia yang sebagian
besar tidak kita kenal, dan kita dibuat kaget dengan penjelasan yang
terperinci mengenai betapa mesum dan jijiknya dunia tersebut. Gaya
sastra dalam buku ini menggunakan pendekatan realistis yang
mengutamakan hal-hal menjijikan untuk mendonkrak pembaca dari rasa
puas diri sambil membaca fiksi hiburan. Mereka tampil “cacat”
seperti karakter di film-film Lynch dan karena itu terasa sangat
nyata dan gelap.
Dalam cerpen-cerpen
karya Mona ini bukan sekedar memerlukan kemampuan mendeskripsikan
pikiran dari tema cerpen, melainkan juga cara mengolah pikiran
tersebut. Selain itu dalam cerpen-cerpen Mona banyak menggunakan
analogi kepengarangan. Yang lebih menabjukan lagi Mona mampu membuat
pembaca merasa penasaran dengan akhir cerita dalam cerpen Mona.
Bagi seorang pemula
yang sangat awam terhadap dunia kesastraan, cerpen Mona ini sangat
sulit untuk dipahami, karena alur dalam cerpen Mona kurang jelas.
Sehingga antologi cerpen ini kurang memotivasi seseorang untuk
membaca atau meneruskan dunia kesastraan. Layout atau tampilan
antologi ini kurang menarik, disamping itu buku ini menggunakan
kertas yang berwarna kurang cerah.
Mona sebagai penulis
cerpen ini ialah sebagai pelukis pengalaman perempuan yang menderita,
dan akibatnya pembaca mau tidak mau terpaksa memikirkan kembali dunia
disekelilingnya, khususnya di Indonesia. Mona juga menunjuk buku ini
kurang sesuai untuk dibaca bagi remaja di bawah 17 tahun, karena
dalam gaya bahasa buku ini terlalu banyak menggunakan kata-kata
kasar. Penulis diharapkan untuk menghasilkan karya-karya dengan alur
yang lebih jelas dan memperhatikan kata-kata yang digunakan, hal ini
memungkinkan agar pembaca mudah memahami dan merasa lebih nyaman.
No Response to "A Dirty Realism"